The Ultimate Transformer And The Attention You Need.

A Transformer is on the most popular state of the art deep learning architecture that is mostly used for NLP task. Ever since the advent of the transformer it has replaced the RNN and LSTM for…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Kamu dan Bandung

Malam terasa cukup hangat, mungkin karena di siang harinya matahari terus saja memancarkan terik tak ingin meredup sejenak saja. Gala dengan motor jadulnya bertandang ke rumah sang pujaan hati. Ada sebersit rasa sedih saat ia melihat jalanan menuju rumah Iyan, entah mengapa.

Hatinya tiba-tiba merasa seperti itu.

Dan saat tiba di lingkungan pasar, Gala mendapati Iyan berdiri menunggunya di depan toko kelontong yang masih buka. Pemuda itu tersenyum sembari melambaikan tangannya ceria. Gala juga bisa melihat ada gitar di balik punggung Iyan, hingga ia menebak-nebak apa yang akan dihadiahkan untuknya.

“Lama nunggu?” tanya Gala. Ia memberikan helmnya pada Iyan.

“Enggak, santai aja,” balas Iyan. Ia memakai helm pemberian Gala kemudian duduk di jok penumpang.

“Mau ke mana kita?” Gala kembali bertanya.

“Ke mana aja. Jalan-jalan.”

Senyum dan kekehan kecil keluar dari belah ranum Gala. Ia kemudian melajukan motornya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan Bandung yang ramai lancar dihiasi lampu yang bersinar cantik. Suasana malam ini memang terasa hangat sehingga cukup nyaman bagi siapa saja penikmat gelap menghabiskan malamnya di luar.

“Tadi ada salam dari Ibu.” Iyan menumpukan dagunya ke bahu kiri Gala. “Katanya semoga lancar kuliahnya nanti.”

“Aamiin.” Gala melirik pada kaca spion, ia juga menolehkan kepalanya sedikit ke samping. “Salam juga buat Ibu. Udah izin kan kalo malem ini keluar?”

“Udaaaah.”

“Mau jajan enggak?”

“Mau jajan seafood boleh gak? Pengen makan mewah sekali-kali.”

“Boleh.”

Gala pun melabuhkan destinasinya pada sebuah warung seafood yang cukup ramai. Ia melirik pada Iyan, pemuda itu tampak begitu antusias. Sudut bibirnya terus saja tertarik membentuk garis lengkung, dan ranumnya tak henti membicarakan apa pun yang dilihatnya. Iyan terlihat bahagia di mata Gala.

Keduanya makan banyak hidangan laut yang dipesan. Awalnya Gala berinisiatif untuk mentraktir Iyan, namun pemuda itu menolaknya. Meskipun Gala memaksa pada mulanya, Iyan yang keras kepala tetap tak bisa ia luluhkan. Selalu saja berkata, “Bayar sendiri-sendiri aja. Lo pacar gua, bukan suami. Gak ada kewajiban buat lo ngasih uang ataupun ngasih makan gua. Jadi, simpan aja uang lo, gua bisa bayar sendiri.”

Dan pada akhirnya Gala hanya akan tersenyum karena Iyan adalah manusia paling realistis yang ia kenal.

Agak lama mereka menghabiskan waktu di warung seafood, sampai ketika merasa sudah puas, mereka pergi dan kembali menyusuri jalanan tanpa tujuan. Hanya jalan saja, menikmati malam, menikmati bagaimana rasanya menghabiskan waktu berdua. Mungkin untuk beberapa orang terasa cukup membosankan, namun Iyan maupun Gala menikmatinya.

“Lo bawa gitar, mau ngapain, Yan? Ini gua penasaran banget karena lo belum juga notis,” ucap Gala sembari melirik ke arah spion kiri.

“Oh iya … ada sesuatu. Nyari tempat sepi dong, biar leluasa.”

“Anjir ngapain nyari tempat sepi? Lo mau kita mesum?”

“Sial!” Iyan menempeleng helm yang dikenakan Gala. “Biar kita ngomongnya santai.”

“Padahal gua udah bahagia banget kalo lo mau diajak mesum.”

“Gak usah sembarangan, lo gak akan berani lakuin itu. Gua percaya, cowok gua kan anak baik-baik.”

Gala tertawa. Iyan benar, ia hanya ingin menggoda saja. Tak akan berani ia melakukan hal tak senonoh pada Iyan, ia ingin menjaganya, bukan ingin merusaknya. Mencium bibir Iyan saja Gala tak berani, apalagi melakukan hal lebih jauh. Ia hanya berani memeluknya, dan paling jauh mencium keningnya. Bagi Gala, Iyan adalah mahakarya yang tak boleh dirusak, termasuk oleh dirinya sendiri. Karena perjalanan masih panjang, jangan ada yang rusak atau semuanya akan hancur di tengah perjalanan.

Motor yang dikendarai Gala mulai berbelok dari jalan raya ke sebuah gapura. Jalannya pun cukup sempit khas jalanan komplek pada umumnya. Sekitar tiga menit motor itu melaju di keheningan, hanya suara deru mesin motor yang terdengar. Hingga motor itu berhenti di sebuah lapangan yang tak terlalu besar, lapangan di sebelah kantor desa yang sudah sangat sepi.

“Udah sepi belum nih? Kalo kurang sepi, kita pindah ke pekuburan depan,” ucap Gala sembari mematikan mesin motornya.

“Kalo gua kesurupan lo yang tanggung jawab ya.”

“Setan juga milih-milih kali mau rasukin manusia model apaan.”

Iyan mencebik. Ia turun dari motor lebih dulu kemudian berjalan pada tumpukan kayu gelonggongan yang ada di pinggir lapang. Ia lalu duduk di sana, sembari matanya menatap ke atas langit.

“Di sini bintangnya kelihatan lumayan jelas,” ucap Iyan.

“Iya. Soalnya di sini gak terlalu banyak cahaya, makanya bisa kelihatan,” balas Gala. Ia ikut mendudukkan dirinya di samping Iyan. “Kenapa tiba-tiba pengen ke tempat sepi?” lanjutnya.

Iyan menoleh, ia tersenyum tipis. “Banyak yang mau gua sampaikan.”

Sempat bingung, Gala pada akhirnya tak menjawab. Ia ikut pandangi langit yang bertabur bintang seperti yang dilakukan Iyan.

“A, gua balikin gitarnya,” ucap Iyan setelah hening beberapa waktu. Ia menyerahkan gitar milik Gala yang telah disimpannya sejak 1 tahun lalu.

“Kenapa dibalikin? Janji lo mana?” Gala sontak menoleh, ia tak menyambut uluran Iyan.

“Maaf. Janjinya belum bisa ditepati. Mungkin lain kali.” Iyan tersenyum tipis. “Tolong diambil lagi ya, enggak rusak kok. Udah gua cek semuanya aman.”

Lalu hening kembali. Gala menatap gitarnya yang dikembalikan oleh Iyan. Ia pikir pemuda itu akan memberinya sebuah kejutan seperti janji tempo hari, tapi malah dikembalikan tanpa ada alasan jelas yang bisa Gala pahami. Padahal Gala selalu membawa hadiah yang akan ia berikan pada Iyan ke mana pun apabila sewaktu-waktu pemuda itu menunjukkan janjinya. Hatinya entah tiba-tiba merasa sesak. Rasanya semakin menyakitkan kala melihat wajah Iyan.

“Maaf kalo tiba-tiba.” Suara Iyan terdengar begitu jelas meskipun tak diucapkan dengan lantang. “Udahan aja ya, A. Gak sanggup,” lanjutnya.

“Apa maksud lo?”

“Udahan, jangan lanjut lagi.”

“Yan, kok lo tiba-tiba begini sih?”

“Tiba-tiba gimana?”

“Kenapa? Lo mau kita putus? Gua salah apa sama lo sampai kayak gini? Biar gua perbaiki tapi jangan putus.” Gala berucap frustasi. Ia mencengkeram kedua bahu Iyan, lalu menatap tepat ke matanya.

“Gua gak mau nitip beban ke lo. Gua mau lo tenang dan fokus ke pendidikan,” jawab Iyan. “Gal, kita putus aja ya? LDR tanpa komitmen itu kebanyakan ujungnya cuma jadi lingkaran setan. Kita cuma seorang bocah menuju dewasa tanggung, terlalu dini juga buat ngomongin komitmen. Orang dewasa aja banyak yang gak bisa ngatasin masalah ini, apalagi kita yang masih bocah kemarin sore. Kita bakal kepisah lama, Gal, dan gua udah mikirin ini dengan matang. Makanya gua gak mau membebani lo dengan perasaan.”

“Enggak Yan, enggak. Banyak cara buat kita tetep bareng. Putus gara-gara kepisah karena tempat kita menimba ilmu berbeda rasanya cukup konyol. Kita masih bisa saling kontak, masih bisa ketemu kalo misal libur semester. Banyak cara buat kita tetep bareng, Yan. Banyak caranya.”

“Yang lo ucapkan memang bener, tapi semuanya butuh komitmen. Dan gua udah jelasin, kita masih terlalu muda buat itu, Gal. Belum saatnya kita ngomongin yang namanya komitmen. Mungkin sekarang lo belum ngerasa gimana hambarnya hubungan karena kita masih barengan, masih ketemu, masih dalam jarak pandang yang dekat. Tapi coba nanti satu tahun kemudian, gua yakin rasanya bakal beda. Lo akan bertemu banyak orang baru, dan saling ngabarin aja gak cukup.”

Gala menatap Iyan yang berkaca-kaca, membuat hatinya berdenyut nyeri.

“Gua minta putus bukan karena lo kurang, tapi gua terlalu sayang sama lo. Gua gak mau membebani lo dengan perasaan, gua gak mau mengikat lo dengan status pacaran yang gak tentu ujungnya mau dibawa ke mana. Kalo misal nanti lo nemu seseorang yang lebih baik dari gua, silakan lo sama dia. Gua gak akan mengikat lo buat kita selau bareng, enggak akan. Lo bebas memilih siapa pun. Gua melakukan ini karena cinta, karena sayang sama lo, Gal.”

Gala menatap Iyan dalam hingga tak terasa air bercucuran membasahi wajahnya. Ia pukuli pelan bahu Iyan dan ia tumpukan wajahnya di sana, menenggelamkan tangisnya yang begitu sakit.

“Sakit banget, Yan. Dada gua sakit,” ucap Gala pelan dengan suara bergetar.

Tak berbeda dengan Gala, Iyan pun mencoba berkali-kali menghapus air matanya. Kemudian ia tepuk-tepuk punggung Gala pelan mencoba agar pemuda itu mengerti dan ikhlas dengan keputusannya.

“Ikhlas ya?” Iyan menegakkan tubuh Gala. Kini keduanya kembali bertatapan dengan berlinang air mata. “Terima kasih udah bikin masa remaja gua terasa begitu indah. Terima kasih udah pernah milih gua jadi seseorang yang nempatin hati lo, dan terima kasih karena sudah mencintai gua dengan begitu besarnya.”

“Yan ….” Gala menarik napasnya. “Kalo memang ini mau lo, gua terima. Tapi lo harus lebih bahagia setelah ini. Jangan biarin orang lain nyakitin lo, karena gua … gua gak bisa lagi ngejaga lo dalam pandangan, ngejaga lo dalam pelukan.”

Iyan mengangguk.

“Dan gua boleh minta satu hal? Kita bisa ketemu lagi kan? Di sini, di Bandung, meskipun entah kapan itu. Gua mau memastikan lo baik-baik saja.”

“Bisa Gal, bisa.”

“Ke mana pun lo pergi, jangan lupakan Bandung. Di sini kita ketemu, di sini kita bikin banyak cerita berdua, dan di tempat ini gua menunggu dan berharap cinta gua akan kembali.”

Setelah mengucapkan itu, Gala membawa Iyan ke pelukannya. Ia peluk erat, ia kecupi wajah dan pucuk kepalanya. Gala memeluknya erat karena malam ini adalah malam di mana Iyan masih bersamanya. Malam di mana cintanya masih bisa ia sentuh, masih bisa ia dekap, dan masih bisa ia dengar alunan suaranya.

Malam hari, di bawah taburan bintang sudut Kota Bandung, dua muda itu mencoba berjudi dengan takdir. Melepas cinta yang semu demi mengejar masa depan yang tak pasti.

Dan lagi-lagi, Bandung menjadi kota kehilangan dan patah hati terbesar untuk dua muda yang naif.

[]

Panglima Teknik;

Written by Ola

Add a comment

Related posts:

STEM education is about to change

The way that we view STEM education in the coming years is going to change tremendously — more so than ever before. Our connection to each other has grown so much in the past few years as smartphones…

Stop Shoddy Thinking with Agile

The Waterfall software development methodology originated in construction and manufacturing. When we began building software, it seemed like the logical path to take. You document your requirements…

How to download datasets from Kaggle to Google Colab

Kaggle is an online community of data scientists and machine learning practitioners where users can find and publish datasets, explore and build models in a web-based data-science environment. Google…