The Way We Understand Story in Business Needs to Evolve

I think the way we understand “story” has grown stale. There’s a whole body of knowledge and group of thinkers which haven’t evolved in awhile. Call it Story 1.0. I think the movement to Story 2.0 is…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Teknologi dan konsep hidup yang dipermudah

Bagaimana Go-Jek melebur dari sebuah brand menjadi sebuah kata kerja dan alternatif cara hidup? Ini adalah pandangan dari seorang pengguna.

Semua orang yang hidup mengikuti perkembangan di kota besar menghadapi isu yang sama: akses informasi makin cepat, akses mobilisasi makin padat. Untuk mereka yang menghargai waktu, kecepatan-ketepatan-keamanan-kenyamanan adalah kombinasi utama dari konsep hidup yang dipermudah. Kemudahan yang terasa mewah bagi mereka yang merasa pajak adalah beban (di negara yang lebih maju, kemudahan itu dibiayai dari pajak; FYI).

Dua hal esensial yang menurut saya membuat Go-Jek mampu menjadi sebuah solusi bagi kehidupan yang mengedepankan akses terjangkau terhadap bantuan dan layanan: jasa antar dan jasa transaksi.

Banyak yang mengaitkan konsep jasa antar yang ditawarkan Go-Jek dengan sharing economy. Konsep sharing economy menggeser konsep berbagi dari sharing-with-a-cause menjadi sharing-with-a-cost. Kesampingkan aspek dari-nolong-jadi-nyolong. Di sini saya akan membahas bagaimana setiap pengendara memanfaatkan peluang dari idle-capacity menjadi potensi ekonomi.

Aksesibilitas menjadi poin yang menggeser sharing-with-a-cause menjadi sharing-with-a-cost. Informasi yang tersebar namun tidak terkumpul, menjadikan informasi sebagai sebuah komoditi baru di industri penyedia jasa layanan. Industri teknologi memanfaatkan komoditas ini dengan baik. Menciptakan akses pertukaran informasi yang menghubungkan dua pihak yang dapat saling menguntungkan secara adil; sebuah model bisnis di industri teknologi yang dapat memberikan dampak luas bagi penggunanya.

Ruang berkendara dan waktu untuk melayani diri sendiri menjadi penghubung dua sisi pengguna layanan Go-Jek: pengendara (penyedia jasa) dan pemesan (pengguna jasa).

“Ternyata kosongnya bangku penumpang dan lowongnya waktu luang bisa dipake buat ngisi saldo”;

kurang lebih itulah isi benak saya kalau saya jadi mitra pengendara Go-Jek. Di sisi pengguna jasa, saya jadi berpikir,

“Ternyata dampak peredaran kendaraan cicilan sekarang bisa jadi solusi menghadapi kemacetan juga. Bisa sambil ngelunasin cicilan pula”.

Wow, kekosongan dan kelowongan kini bisa lebih bermakna, bahkan bisa membuat masalah dan solusi hadir saling melengkapi. Dampaknya bagi Go-Jek? Tidak perlu banyak kegiatan pengadaan, pengelolaan, dan penampungan armada. Cukup menawarkan informasi ketersediaan penyedia jasa antar. Solusi yang efisien bagi semua.

Apakah salah mengubah perilaku sharing-with-a-cause menjadi sharing-with-a-cost? Menjadi salah jika tidak ada transparansi dalam akses informasi yang diberikan. Setidaknya itulah yang membuat mayoritas pelanggan ojek daring beralih dari ojek pangkalan. Standarisasi tarif — beserta perubahan harga dan fitur promonya — membuat Go-Jek diminati oleh para pengguna jasa transportasi yang membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan kenyamanan. Kenyamanan untuk dompet, tentunya. Hidup terasa lebih mudah jika ongkosnya terasa lebih ringan, betul.

Aspek keamanan belum saya masukkan, karena sejatinya jasa ojek dan kendara-bersama (ridesharing) memang belum resmi memiliki status sebagai transportasi umum. Belum terjamin aman karena belum punya payung hukum. Karenanya, saya tidak menganggap Go-Jek sebagai penyedia layanan jasa antar. Yang saya tangkap, Go-Jek adalah penyedia informasi mengenai operator penyedia layanan jasa antar (mitra pengendara) beserta tarif yang masuk akal bagi pelayan (mitra pengendara) dan pelanggan (pengguna jasa antar). Yang saya beli dari Go-Jek adalah informasi penawarannya. Apa yang ditawarkan? Konsep hidup yang dipermudah. Butuh berkendara tanpa harus jadi pengendara? Go-Jekin aja.

Go-Jek terus berinovasi dalam mengembangkan konsep hidup yang dipermudah; setidaknya itu yang saya rasakan. Aspek kecepatan, ketepatan, keamanan dan kenyamanan tidak hanya coba dihadirkan lewat jasa antar. Lewat Go-Life, Go-Jek memutar value jasa-antar menjadi antar-jasa. Tidak hanya mencarikan pengantar saat dibutuhkan, sekarang kebutuhan saya bisa dicarikan pengantarnya. Kasarnya, “gue butuh sesuatu, kebutuhannya yang nyamperin.”. Hidup untuk belanja dan dimanja kini tidak perlu banyak berpindah tempat.

Sekali lagi, wow. Begitu luas dampak penawaran informasi mengenai layanan jasa terhadap kegiatan perekonomian. Terlebih, para operator layanan antar-jasa yang didominasi oleh sektor informal, kini berpeluang untuk lebih produktif berkat aksesibilitas terhadap permintaan pasar. Kalau potensi sumber daya manusia ini dikelola dengan baik, mereka akan meningkatkan kualitas pelayanannya; bisa jadi mengantarkan sektor informal ini pada sertifikasi profesi. Begitulah cara Go-Jek menggunakan teknologi, memperluas akses pasar untuk sektor layanan jasa dan mendorong peningkatan mutu melalui pertukaran informasi.

Satu langkah besar Go-Jek dalam berekspansi: menyediakan layanan jasa transaksi. Setelah sekian banyak membuat kegiatan transaksional di masyarakat, Go-Jek merasa sudah saatnya mengelola volume transaksi itu dalam satu proses yang lebih efektif dan efisien. Efektif dalam arti cukup lewat satu pintu, efisien dalam arti cukup dengan satu biaya.

Saya rasa semua cukup merasakan bagaimana stagnansi produk perbankan dalam mengelola dana dan transaksi yang mereka himpun dari masyarakat. Berdalih biaya pengelolaan sistem, informasi keuangan menjadi komoditas sampingan penyokong bonus kinerja: fee-based income. Masa iya, di bank yang katanya melayani rakyat Indonesia dengan setulus hati, mengecek saldo rekening sendiri saja sempat ada biayanya. Kalau diumpamakan, ‘bulus ditutupi tulus jadinya fulus plus-plus’. Belum lagi ongkos pindah rekening dari sejumlah uang dalam bertransaksi. Apalagi masih harus berhadapan dengan kebijakan uang receh dan sistem online yang tidak stabil. Masyarakat pengguna transaksi online — atau cash-lite society — butuh satu akses baru yang bisa menjadi pintu transaksi untuk mengalirkan volume transaksi mereka, di semua lapisan masyarakat. Seperti kebutuhan utama bagi golongan kurang pengalaman keuangan: “quick and convenient access”.

Hidup bertransaksi terasa lebih mudah dengan Go-Pay. Dengan pengolahan dan pengintegrasian data dan informasi yang baik, transaksi kini bisa lebih murah dan lebih mudah. Cukup bayar di satu pintu akses layanan transaksi Go-Pay, nilai uang saya bisa digunakan untuk belanja kebutuhan tanpa biaya tambahan, tanpa repot uang kembalian. Kecuali untuk beli pulsa, karena pulsa telepon adalah nilai guna yang wujudnya berbeda dengan kebutuhan riil, wajar kalau menimbulkan biaya lain. Transaksi antar akun pun lebih mudah. Cukup masukkan nomor handphone terdaftar (pay a contact) atau pindai QR code terdaftar, tanpa resiko salah transfer, tanpa biaya tambahan, tanpa saldo minimal, tanpa menunggu proses verifikasi rekening antar bank. Sebuah kenyamanan dalam mengakses layanan transaksi keuangan lewat penggunaan teknologi.

Apa yang saya beli dari Go-Pay?

Pertama, jasa integrasi informasi. Setelah data kependudukan saya terekam dengan baik lewat sistem e-KTP, verifikasi akun rekening bank, e-mail dan nomor seluler terdaftar harusnya mempunyai basis data yang sama dan valid. Go-Pay mampu mempermudah cara saya bertransaksi: buka akun Go-Pay menggunakan nomor seluler dan e-mail yang terdaftar, bayar di awal untuk biaya memindahkan uang dari rekening bank ke akun Go-Pay, setelahnya saya bisa bertransaksi cukup dengan data kontak di handphone saya. Mau jajan tapi tidak butuh kontak merchant? Pindai saja QR code nya.

Kedua, layanan transaksi cash-lite. Kesampingkan debat cashless dan cash-lite, karena masyarakat yang belum tersentuh teknologi digital masih perlu keberadaan uang fisik, dan digital inclusion masih menjadi sebuah isu yang menarik untuk diikuti perkembangannya. Layanan transaksi cash-lite adalah solusi bagi mereka yang menganggap praktik donasi industri retail adalah trik “Paman Gober” — ‘kembalian recehanmu adalah isi brankasku’. Layanan ini tidak mengenal uang kembalian, karena transaksi digital memungkinkan penggunanya untuk mentransfer nominal apa adanya. Mau jajan tapi merchant gak sedia kembalian? Pindai saja QR code nya.

Ketiga, transparansi. Ketika sistem perbankan membatasi akses informasi keuangan nasabah pada volume transaksi tertentu, Go-Pay memungkinkan saya untuk mengecek transaksi saya sejak awal menggunakan layanannya. Saya mengerti dalam perkembangannya pasti kebutuhan infrastruktur data dari Go-Pay akan bertambah, dan di sini saya berharap tim Go-Pay mampu mempertahankan kualitas layanannya terutama dalam mengedepankan transparansi ini.

Go-Jek, Go-Life, dan Go-Pay adalah kemudahan hidup yang kini tak semewah dahulu. Menempuh perjalanan, memenuhi kebutuhan, dan transaksi keuangan bisa sepraktis menggerakkan jari. Berkat teknologi, akses kepada hidup mewah akan kemudahan kini bisa sedekat genggaman dan sehalus sentuhan. Kalau boleh menyumbang copy untuk satu konten Go-Jek, saya akan bilang:

Add a comment

Related posts:

Thoughts from a college Entrepreneurship Course

Thoughts from a college Entrepreneurship Course, a Medium series by Jas Singh